Follow Us @soratemplates

acehplanet
acehplanet

Senin, 27 November 2017

Sekilas Tentang Pernikahan Adat Di Gayo Lues

November 27, 2017 0 Comments


Pernikahan Adat Di Gayo Lues 

     Tulisan ini merupakan refleksi penulis dari pernyataan seorang ilmuan asal Belanda bernama Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dalam bukunya Het Gajo Land en Zijne Bewoners yang terjemahkan oleh Hatta Aman Asnah dengan judul GAYO; Masyarakat dan Kebudayaanya Awal Abad ke-20 terbitan Balai Pustaka tahun 1996.

 Berdasarkan hasil penelitiannya di tanah Gayo Dr. Snouck berkesimpulan bahwa meski mayoritas masyarakat Gayo menganut agama Islam, namun dalam praktek ajarannya Islam akan diterapkan jika telah diterima oleh hukum adat, atau lebih dikenal dengan sebutan teori resepsi.Selanjutnya tulisan ini di buat dengan asumsi bahwa masyarakat Gayo Lues zaman dahulu sangat berbeda dengan masyarakat Gayo Lues pada zaman sekarang, baik dalam pemahaman ajaran Islamnya maupun dalam perubahan-perubahan sosio-budayanya serta pergeseran-pergeseran nilai yang akan berpengaruh terhadap praktek ajaran keislaman serta pengamalannya di masyarakat saat ini. 

Dalam tulisan yang sangat sederhana ini, penulis mencoba memaparkan a). Jenis pernikahan adat Gayo Lues; dan b). Tinjauan hukum Islam terhadap pernikahan adat Gayo Lues.
Agar pembahasan dalam tulisan ini tidak meluas, maka hukum Islam yang dimaksud hanya dibatasi pada pernikahan adat masyarakat Gayo Lues. Selanjutnya pengumpulan data akan dilakukan dengan mengumpulkan sumber bacaan yang relevan dengan pembahasan serta wawancara dengan tokoh masyarakat.

Bagi masyarakat Gayo, agama Islam dengan segala akidah dan kaidahnya merupakan acuan utama perilaku mereka yang bergandeng dengan norma adat . Hal ini terlihat dari pepatah Gayo “murip i kanung edet, Edet i kanung agama” yang berarti hidup di kandung adat, adat di kandung agama. Kendati demikian, adat yang notabene sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang suku Gayo harus terlebih dahulu harus di tinjau dalam hukum Islam, karena adat tersebut bukan produk hukum dari Islam itu sendiri melainkan hasil dari cipta rasa yang berlaku dalam kebiasaan suatu masyarakat tertentu dan dalam lingkup tertentu serta masa tertentu.
Islam sebagai agama yang komprehensif dan kompromistis tidak melarang adanya peran adat dalam praktek kehidupan sehari-hari di masyarakat selama adat atau kebiasaan tersebut tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Hal ini didasarkan pada qawa-id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) yang berbunyi العادة” “محكمه yang berarti adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dapat dijadikan hukum. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis mencoba melihat kesesuaian adat pernikahan masyarakat Gayo Lues dalam tinjauan hukum Islam.

Dalam pernikahan adat masyarakat Gayo Lues, dikenal beberapa jenis pernikahan, yaitu:
1.    Juelèn, sesuai dengan arti  kata juelen yang berarti "dijualkan", maka pengantin perempuan itu seakan sudah “dijual” kepada kerabat suaminya. Isteri tersebut seakan bukan lagi milik orang tuanya. Seorang gadis yang di jual ini tidak lagi bergaul dengan keluarga orang tuanya, melainkan tinggal di belah/klan suami (patrilokal), hal demikan jika mahar sudah lunas baru istri dapat menetap tinggal di kampung/rumah suaminya.
2.    Angkap, yaitu suami tinggal di belah/klan istri, (matrilokal) hal ini terjadi karena suami  tidak bisa melunasi maharnya. Suami yang berstatus angkap ini sangat rendah derajatnya di masyarakat Gayo, karena suami tidak mampu membawa istri ke lingkungan kampungnya. Walau penyebab lainnya bukan karena ketidak mampuan suami melunasi permintaan adat, namun gadis ini merupakan anak tunggal mertuanya yang tidak ingin berjauhan dengan orang tuanya. Kemungkinan lain disebabkan karena orang tua gadis ini sangat menyukai anak laki-laki yang kemudian menikahkannya secara angkap.   Namun dalam prakteknya kebanyakan pernikahan secara angkap ini terjadi karena ketidak mampuan suami memenuhi untuk permintaan (teniron) orang tua calon isteri secara adat, melainkan suami hanya membayar kewajiban saja menurut ketentuan agama Islam.

Nikah angkap ini terbagi pada empat, yaitu:
a.    Angkap Duduk Edet, suami diwajibkan tinggal/mengikuti istri, selama mahar istri  belum dilunasi. Bila mahar sudah dilunasi, maka suami berhak membawa istri dan anaknya ke kampungnya.  Namun angkap ini memakan waktu yang cukup lama, sehingga pada prakteknya angkap ini sama saja dengan angkap empat mas (angkap nasab)
 b.    Angkap Sentaran, perkawinan dengan perjanjian pemenuhan batas waktu yang telah disepakati. Misalnya karena orang tua istri sudah sangat ozor/tua, sehingga masih memerlukan perawatan. Setelah orang tuanya meninggal maka mereka boleh pindah ke kampung suaminya. Ada pula perjanjian sampai sepuluh tahun, bila misalnya dalam satu tahun suami bisa melunasi mahar istri dia terpaksa menunggu sembilan tahun lagi baru pindah ke kampung suaminya. Materi perjanjian ini beraneka ragam, sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan bersama. 
c.    Angkap Empat Mas, suami tidak berhak untuk membawa istrinya untuk selama-lamanya. Suami telah dianggap menjadi anggota kampung istrinya. Status suami tidak dianggap apa-apa. Segala harta yang diperoleh suami  dianggap harta istri. Misalnya rumah yang dibangun suami dari gajinya, maka surat rumah harus atas nama istri demikian yang lain-lain, seperti mobil, sawah, kebun, dan lain-lain. 

3.    Naik (kawin lari), perkawinan yang terjadi karena seorang pemuda melarikan seorang gadis untuk di jadikan istrinya, atau seorang gadis yang menyerahkan dirinya pada seorang pemuda untuk dijadikan teman hidupnya. Mereka biasanya pergi tengah malam untuk pergi kerumah qadhi, atau imem atau KUA kecamatan kampung laki-laki untuk dinikahkan. Oleh qadhi mereka diselidiki apakah mereka sadar, tidak dalam  keadaan mabuk dan sebagainya. Bila qadhi sudah yakin maka dia segera memberitahukan kepada pemegang adat kampung perempuan/gadis.

4.    Mah Tabak, perkawinan seorang pemuda yang langsung menghadap orang tua gadis dengan permintaan untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Menurut pertimbangan laki-laki tersebut bila melalui prosedur biasa dia tidak akan mendapat perempuan yang diinginkannya itu. Oleh karenanya dia pergi menyerahkan diri kepada orang tua perempuan, dan menyatakan maksudnya untuk menikahi anaknya. Pertama kali tentu akan mempertimbangkan permintaan itu dan kemudian biasanya melaporkan kepada kepala desa atau orang tua pemuda.  Sesuai dengan nama proses perkawinan itu, yang datang ini biasanya  membawa tabak  ditambah pedang atau senjata tajam lainnya, tali atau alat pengikat lainnya, cangkul atau alat pembogkar tanah lainnya.
Alat ini diserahkan kepada orang tua gadis dengan pengantar kata: maksud dari membawa alat tersebut yang diserahkan pada orang tua calon isteri adalah bila tidak memungkinkan untuk dinikahkan maka bunuh dengan pedang yang dibawa, seret mayatnya ke kubur dengan tali yang dibawa, dan gali kuburnya dengan cangkul yang dibawa serta timbun mayatnya dengan pangki yang dibawa.
Dalam keadaan demikian, hanya ada dua pilihan bagi orang tua gadis, mengawinkan anaknya, atau bila tidak disetujui, maka terpaksa di bunuh. Namun pada umumnya, perkawinan yang menjadi pilihan.
5.    Ngalih, perkawinan yang terjadi kerena meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri. Apabila suami meninggal, maka istri atau janda tersebut "diambil alih"  oleh saudara suami yang meninggal, atau sebaliknya bila istri  yang meninggal, maka suami mengambil saudara istri sebagai ganti istrinya yang telah meninggal tersebut. 
Pernikahan seperti ini dibolehkan dalam hukum pernikahan Islam, karena memiliki landasan yang kuat dalam Al-Qur-an, seperti surat an-Nisa’ ayat 23 yang berbunyi:
Artinya:
"Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 
Ulama fikih (fuqahā) membagi keharaman tersebut menjadi dua kelompok, yaitu haram nikah untuk selama-lamanya (mahrām muabbād), dan haram nikah dalam kondisi tertentu (mahrām muaqqāt).

Ayat di atas merupakan dalil dari larangan pernikahan untuk selama-lamanya yang di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu larangan karena nasab (keturunan), mushaharah (perkawinan), dan radha’ah (sesusuan). 
1.    Larangan kerena nasab (keturunan) seperti: ibu kandung dan seterusnya ke atas, anak permpuan dan seterusnya kebawah; saudara perempuan kandung, seayah dan seibu; Bibi yaitu saudara perempuan bapak atau ibu;
anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan (kemanakan).
2.    Larangan karena mushaharah (pernikahan) yaitu: perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah atau ibu tiri; perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu; ibu isteri (mertua); anak dari isteri.
3.    Larangan karena radha’ah (susuan), yaitu ibu dari ayah yang menyusuinya, kerena ia merupakan neneknya juga; Ibu dari bapak susunya, karena ia merupakan neneknya juga; saudara perempuan dari ibu susunya, kerena ia menjdi ibu susunya; saudara perempuan bapak susunya, karena ia menjadi bibi susunya; cucu perempuan bibi susunya, karena mereka menjadi anak perempuan saudara laki-laki dan perempuan dengannya; saudara perempuan sesusuan, baik yang sebapak atau seibu ataupun kandung.  Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan nabi saw:
انّ الله حرم من الرضاع ما حرم من النسب
Artinya:
Sesunggunya Allah mengharamkan dari susuan apa yang telah Allah haramkan dari nasab. 
Pemaparan di atas adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selamanya, namun ada juga keharaman pernikahan yang tidak berlaku selamanya, artinya bila halangan yang menyebabkan mereka untuk menikah telah hilang, mereka  boleh melakukan pernikahan, inilah yang disebut dengan larangan pernikahan sementara (mahram muaqqad).


Adapun orang-orang mahram muaqqad adalah sebagai berikut:
1.    Halangan bilangan mahram, yaitu perempuan yang baru dicerai oleh suaminya yang masih dalam masa iddah tidak boleh dinikahi.
2.    Halangan karena non-muslim atau kafir.
3.    Halangan karena ihrām, yaitu bagi seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah.
4.    Halangan kerena peristerian, yaitu batas maksimal boleh beristeri adalah empat orang.

5.    Berkeroa, yaitu model pernikahan yang lebih dari satu orang isteri dalam satu waktu (poligami).  Pernikahan seperti ini dibolehkan dalam pernikahan
Islam dengan ketentuan dapat berlaku adil. Seperti dalam firman Allah swt yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil  Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Dari beberapa jenis pernikahan yang berlaku di tanah Gayo seperti yang disebutkan di atas, hanya perkawinan mah tabak yang sangat jarang sekali dilakukan, terlebih lagi di zaman belakangan ini belum pernah dilakukan. Namun praktek perkawinan juelèn, angkap, naik, ngalih, dan berkeroa hingga saat ini tetap membudaya di masyarakat Gayo Lues.
Khusus untuk tradisi pernikahan juelen dan angkap, untuk zaman sekarang telah banyak terjadi perubahan, baik akibat hukumnya maupun adat yang telah banyak keringanan. Dalam pernikahan jue misalnya, pengantin perempuan tidak lagi mengharuskan tinggal di belah/klan suami, melainkan sewaktu-waktu dapat ketempat keluarga isteri. Demikian sebaliknya dengan pernikahan angkap, suami tidak diharuskan tinggal di belah/klan isteri, melainkan sesekali dapat ketempat keluarga suami.
Perubahan-perubahan di masyarakat tersebut dalam pandangan Sidi Gazalba pada asasnya berpangkal dari sesuatu yang baru. Suatu yang baru itu mungkin berbentuk konsepsi, ide, benda, yang menimbulkan laku perbuatan baru. Selanjutnya norma baru itu mengubah lembaga sosial yang sudah ada atau membentuk lembaga sosial yang baru. Kemudian suatu yang baru itu akan mengalami tiga tahap dalam kebudayaan, yaitu:
a.    Penemuan usur baru, baik berupa konsepsi, ide, teori, barang dan peralatan.
b.    Invensyen (invention) pengakuan, penerimaan, atau penerapan penemuan itu oleh masyarakat yang bermakna sebagai unsur kebudayaan yang membawa pada norma atau penumbuhan norma baru.
c.    Inovasi (innovation), proses perubahan kebudayaan yang besar, terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Akibat perubahan dan pergeseran nilai tersebut, untuk pernikahan adat sekarang di Gayo Lues telah dikenal satu akibat hukum baru dari pernikahan juelen mapun angkap, yaitu pernikahan kuso-kini (kesana-kemari) atau dengan sebutan lain murip i he senang (hidup di mana suka), yang bermakna bahwa suami maupun isteri telah mendapat keringanan adat untuk menentukan tempat kediaman mereka.
Perubahan-perubahan terhadap norma adat tersebut menandakan bahwa, masyarakat Gayo Lues zaman sekarang telah lebih sadar dan lebih membaik tentang Islam, baik pengetahuan tentang keislaman maupun  penerapan Islam tersebut di masyarakat, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyah). Selain itu, norma adat yang secara sunnatullah memang tidak bersifat statis, melainkan dengan sifat dinamisnya yang rentan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dengan sendirinya akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu. Selain itu dalam pandangan penulis, perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat, asimilasi, akulturasi kebudayaan, difusi serta kemudahan mengakses informasi.

A.    Kesimpulan
Pernikahan adat masyarakat Gayo Lues memiliki kesesuaian dengan pernikahan dalam Islam, karena dalam pernikahan adat Gayo Lues tersebut banyak terdapat konsep tolong menolong (ta-awun), musyawarah (al-musyawwah) dan prinsip gotong royong. Kendati masih ada ketidak sesuaian dengan pernikahan dalam Islam, bukan terletak dalam syarat maupun rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan tersebut, melainkan hanya mekanisme pernikahan itu sendiri yang terkadang sedikit memberi kesukaran pada kedua calon pengantin, misalnya dengan tingginya unyuk (uang adat) yang diminta oleh keluarga calon mempelai perempuan. Dengan timbulnya kesadaran masayarakat Gayo Lues tentang pengetahuan dan penerapan Islam, maka adat tersebut telah banyak keringanan.

B.    Saran
Kepada instansi terkait, hendakanya memaksimalkan penelitian, pengawasan dan pembinaan adat Gayo Lues, serta lebih selektif dalam menerapakan adat yang belum sesuai dengan ajaran Islam, karena banyak dari adat tersbut yang harus tetap dipertahankan mengingat manfa’atnya yang besar. Wallahu a’lam
suami maupun isteri telah mendapat keringanan adat untuk menentukan tempat kediaman mereka. 
Perubahan-perubahan terhadap norma adat tersebut menandakan bahwa, masyarakat Gayo Lues zaman sekarang telah lebih sadar dan lebih membaik tentang Islam, baik pengetahuan tentang keislaman maupun  penerapan Islam tersebut di masyarakat, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyah). Selain itu, norma adat yang secara sunnatullah memang tidak bersifat statis, melainkan dengan sifat dinamisnya yang rentan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dengan sendirinya akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu. Selain itu dalam pandangan penulis, perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat, asimilasi, akulturasi kebudayaan, difusi serta kemudahan mengakses informasi.  

Sumber di ambil dari:

Nama                      : Robi Efendi, M.H.I
Tempat. Tgl.Lahir      : Blangkejeren, 11 Oktober 1989
Perguruan Tinggi       :
                             : S1 Hukum Islam (S.H.I) UIN-SU Medan, 2012
                             : S2 Hukum Islam (M.H.I) UIN-SU Medan 2014
Alamat                    : Desa Penampaan Uken, Kecamatan Blangkejeren,
                              Kabupaten Gayo Lues
Facebook                 : Roby Al-Faruq


My Profil

November 27, 2017 1 Comments

LINDAWATI  
      Saya lahir di Blangkejeren, Pada Tanggal 08 Desember. Saya berasal dari Kota Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues dansaya tinggal bersama orang tua saya. Saat ini, saytercatasebagai mahasiswJurusaManajemeInformatika dan Komputer di AMIKI Banda Aceh.



 

       Berangkat  kuliah jauh dari pada orang tua adalah tantangan yang sangat berat mengingat jarak antara tempat saya lahir dan di besarkan sangatlah jauh waktu perjalanan yang ditempuh selama 18 jam dan juga status saya adalah perempuan dan saya anak tunggal sehingga berat meninggalkan orang tua saya dirumah dan juga ada kekhawatiran yang selalu terlintas dalam pikiran saya,  semua  itsaya coba tenangka denga mengabari   oran tua   saya dirumah.

















Tujuan terbesar hanya lah untuk membahagiakan  orang  tua  saya  dan juga untuk meraih kesuksesan. Pengalaman saya mengukuti Jurusan ManajemeInformatika  Dan Kumputer yaitu pengalaman yang sangat mengesankan bagi saya karena ilmu yang saya dapatkan selama saya menempuh pendidikan perkuliahan di AMIKI sangat lah bermanfaat dalam jenjang karir saya dimasa depan nantinya dan tentunya juga untuk membahagiakan  orang  tua  saya, tercatat saya sekarang sudah masuk di jenjang semester yang ke V (Lima).
 



     Hobby sehari-hari saya selain kuliah dan mengikuti semua Matakuliah saya banyak membaca tentang ilmu Manajemen Informatika Dan Komputer yang saya ikuti di bangku kuliah tujuan nya  untuk  menambah pengetahuan  say aga memudahkan   say dala mendalami matakulia tersebutMott kehidupa saya    “K egagalan    adalah   Kesuksesan   yang Te rt u n d a” . Demikiansedikit profil tentang penulis semoga bisa bermanfaat.

Jumat, 24 November 2017

Gutel Makanan Khas Gayo

November 24, 2017 0 Comments
 Gutel 
konon menurut masyarakat gayo, dulu Gutel untuk makanan jika musim panen padi, (musim berume)
gutel juga makanan untuk menahan lapar atau disebut orang Gayo (togoh). selain itu gutel juga kerap dijadikan sebagai bekal makanan saat bepergian ke dalam hutan untuk berburu (ngaro) atau mencari sesuatu yang mbutuh kan waktu  berhari-hari.

dulunya orang Gayo saat belum menganal kendaraan saat melakukan perjalanan ke pesisir atau ke tempat lain yang melintasi bukit atau hutan juga di bekali dengan Gutel. termasuk saat akan berperang gelirnya melawan penjajah Belanda dan Jepang. cukup sudah untuk sejarah Gutelnya dan kita akan membahas tentang cara membuat Gutel


Bahan-bahan:
tepung beras

kelapa
gula aren
dan air
daun pandan

proses pembuatan:
cara membuat gutel juga lebih sederhana cukup dengan mencampurkan semua bahan kedalam wadah beri sedikiti demi sedikit air kemudian mulai menggumpal. gulung dengan daun pandan kemudian dikukus ke dalam dang-dang dan tunggu hingga matang.



Rabu, 22 November 2017

Motif Kerawang Gayo

November 22, 2017 0 Comments



      Motif yang terdapat pada kerawang milik Kabupaten Gayo Lues menjadi salah satu motif paling digemari saat ini. Perkembangannya dari tahun ke tahunpun semakin meningkat. Pakaian kebanggaan masyarakat daerah berjuluk Negeri Seribu Bukit ini sukses mendapat perhatian. Mulai dari masyarakat Provinsi Aceh, Indonesia, bahkan negara luar.
Daya tarik, warna dan motif serta identitas tari Saman yang mendunia menjadi faktor pendukung kenapa motif kerawang Gayo Lues begitu digemari khususnya para wanita. 

      Seperti baru-baru ini, istri Presiden Indonesia ke-6 Ani Yudhoyono memposting foto sang cucu mengenakan kemeja bermotif kerawang Gayo Lues di media sosial miliknya yang spontan menuai pujian dari ribuan masyarakat umum.   


       Tidak tanggung-tanggung, sebangak 3.000 helai pakaian bermotif kerawang Gayo Lues disiapkan. Namun, masalah baru kembali muncul. Sangat disayangkan, sosialisasi atau publikasi filosofi, identitas, sejarah dan makna dari kerawang Gayo Lues itu sendiri belum sesempurna seperti kesuksesan tentang daya tariknya saat ini.  Walaupun kerawang Gayo Lues saat ini mulai mengikuti jejak kesuksesan Tari Saman yang cukup mencuri perhatian dunia, namun tak bisa dipungkiri, masyarakat malah kerap bingung dan bahkan tidak tahu mengenai asal, makna atau filosofi dari kerawang Gayo Lues itu sendiri. 
Parahnya lagi, jangankan masyarakat luar, para pelajar dan muda-mudi Gayo Lues sendiri mulai awam dengan identitas dari kerawang ini. Tentunya ini menjadi ‘PR’ penting bagi masyarakat dan Pemerintah Gayo Lues. 

      Salah satu faktor masalahnya adalah, karena masih sangat kurangnya sosialisasi dari kerawang Gayo Lues itu sendiri, baik dalam bentuk tulisan, video, gambar dan lain-lain. Penulis berharap, buku pintar mengenai kebudayaan Gayo Lues seperti tari Saman, Bines, Didong, Melengkan, serta motif kerawang Gayo Lues ini bisa disusun dan di edarkan di seluruh sekolah di luar daerah dan dimana saja berada para remaja asal gayo lues untuk melestarikan dan mengenal kan kepada dunia sejarah gayo baik dalam bidang kesenian mau pun tempat wisata nbahkan adat istiatnya. 

Senin, 20 November 2017

BLANGKEJEREN Kab,GAYO LUES

November 20, 2017 0 Comments

       Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda daerah Gayo dan Alas secara resmi dimasukan ke dalam Kerajaan Aceh. Gayo dan Alas dibagi atas beberapa daerah yang disebut Kejurun. Kepada Kejurun diberikan sebuah bawar, pedang (semacam tongkat komando) sebagai pengganti surat keputusan. Daerah Gayo dan Alas dibagi atas delapan Kejuruan. Enam di Gayo dan Dua di Tanah Alas. Di Gayo yaitu Kejuruan Bukit, Lingge, Syiah Utama, Patiambang, Bebesan dan Abuk; di Tanah Alas, Batu Mbulan dan Bambel. Kejuruan Patiambang berkedudukan di Penampakan, dengan luas daerah seluruh Gayo Lues dengan 55 kampung. Kepala pemerintahan dipegang Kejuruan dengan dibantu 4 orang Reje, yaitu Reje Gele, Bukit, Rema dan Kemala, dan delapan Reje Cik yaitu : Porang, Kutelintang, Tampeng, Kemala Derna, Peparik, Penosan, Gegarang dan Padang. Tugas utama Reje dan REje Cik adalah membangun daerahnya masing-masing dan memungut pajak dari rakyat serta memilih Kejuruan. Kejuruan setiap tahun menyetor upeti kepada Sultan Aceh.

      Setelah Sultan Aceh Muhammad Daudsyah menyerah kepada Belanda pada tahun   1903,   maka   Gubernur   Militer   Aceh   Van   Heutsz    memutuskan    untuk menaklukan seluruh Aceh.  Daerah yang belum takluk adalah daerah Gayo Lues dan Alas Van Heutsz memerintahkan Van Daalen untuk menaklukkan kedua daerah tersebut.  Setelah segala sesuatunya daianggap rampung maka Van Daalen mulai menyerang daerah Gayo Lues pada tahun 1904.  Setelah mengalahkan Gayo Laut, Gayo Deret, akhirnya Van Daalen memasuki daerah Gayo Lues di sebuah kampung yang terpencil yaitu Kampung Kela (9 Maret 1904).  Dari sinilah daerah Gayo Lues ditaklukkan benteng demi benteng.  Dimulai dengan menaklukkan Benteng Pasir ( 16 Maret 1904), Gemuyung (18,19,20 Maret 1904), Durin (22 Maret 1904), Badak (4 April 1904), Rikit Gaib (21 April 1904), Penosan (11 Mei 1904), Tampeng (18 Mei 1904).  Hampir seluruh isi benteng dimusnahkan dan yang luka-luka tertawan akhirnya juga dibunuh.  menurut catatan Keempes dan Zentegraaf (Pengarang Belanda) hampir 4.000 orang rakyat Gayo dan Alas gugur, termasuk pejuang Gayo seperti Aman Linting, Aman Jata, H. Sulaiman, Lebe Jogam, Srikandi Inen manyak Tri, Dimus dan lain-lain.
 


      Pasukan Belanda yang pergi meninggalkan Gayo Lues ke Tanah Alas kembali lagi pada tahun 1905 untuk menyusun Pemerintahan.  Untuk Gayoo dan Alas dibentuk Pemerintahan Sipil yang disebut Onder Afdeling (Kabupaten).  Onder Afdeling Gayo Lues membawahi tiga daerah yang disebut Landschap (Kecamatan), yaitu :
- Landschaap Gayo Lues di Blang Kejeren dikepalai oleh Aman Safii
- Landschaap Batu Mbulan dikepalai oleh Berakan
- Landschaap Bambel dikepalai oleh Syahiddin
Sejak 1905-1942 Tanah Alas tunduk ke Gayo Lues. Tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat terhadap Belanda di Blang Kejeren yang dipimpin oleh Muhammad Din, pemberontakan gagal, dapat dipadamkan dan Muhammad Din dibuang ke Boven Digul  (Irian) sedangkan kawan-kawannya dibuang ke Cilacap, Sukamiskin dan Madura. 



    Pada tahun 1942-1945 Gayo Lues dijadikan Jepang sebagai daerah pertahanan terakhir jepang. Daerah ini cocok untuk pemusatan militer. Untuk itu pemuda-pemuda Gayo Lues dilatih kemiliteran dalam jumlah yang banyak diharapkan pemuda  pemuda  ini kelak sebagai pendukung militer Jepang. Pemuda-pemuda hasil didikan militer Jepang antara lain adalah Muhammad Din, Bahrin, Zakaria, Maaris, Maat, Jalim Umar, Abdurrahim, Asa, Dersat, Hasan Sulaiman, Ahmad Aman Bedus, Hasan Tejem dan lain  lain yang kelak berjasa dalam agresi I dan II.

     Gema Proklamasi lama baru sampai ke GAYO Lues. Kepastiannya baru di dapat pada akhir September 1945. Pada tanggal 4 Oktober 1945 teks Proklamasi dibacakan lagi di Blangkejeren oleh Muhammad Din.  Pada tahum 1946 Pemerintah Aceh menetapkan daerah pedalaman menjadi satu kabupaten ( Keluhakan ) yang bernama Keluhakan Aceh Tengah. Luhak (Bupati) dan ibukota Kabupaten dimusyawarahkan antara pemimpin dari Takengon, Blang Kejeren dan Kutacane. Setelah diadakan musyawarah terpilihlah Raja Abdul Wahab sebagai Luhak Aceh Tengah sedangkan Takengon dipilih menjadi ibukota, A.R.Hajat menjadi Patih, Mude Sedang menjadi Wedena Takengon, M. Saleh Aman Sari menjadi Wedana Gayo Lues dan Khabar Ginting menjadi Wedana Tanah Alas. Setelah susunan Pemerintahan terbentuk dan berjalan beberapa bulan mulailah terasa kesulitan menjalankan roda pemerintahan mengingat hubungan Takengon-Blang Kejeren-Kutacae sangat jauh.  Atas dasar kesulitan di atas maka sejak tahun 1957 mulailah Gayo dan Alas berjuang membentuk Kabupaten sendiri. Setelah melalui perjuangan penuh liku-liku akhirnya pada tahun 1974 Gayo dan Alas terbentuk menjadi Kabupaten yang dinamakan Kabupaten Aceh Tenggara dengan UU No 4 Tahun 1974 tertanggal 26 Juni 1974.

       Dengan berlakunya UU No 5 Tahun 1974, maka status Kewedanaan diganti dengan sebutan Pembantu Bupati.  Namun sejak tahun 1975 s.d 1981 status Gayo Lues masih dalam status transisi karena Gayo Lues dijadikan daerah koordinator Pemerintahan untuk 4 Kecamatan.  Baru pada tahun 1982 Kewedanaan Gayo Lues dijadikan Wilayah Pembantu Bupati Gayo Lues dipimpin oleh Pembantu Bupati.  Berhubung karena keterbatasan wewenang ditambah lagi luasnya daerah yang harus dikoordinir dan lagi pula minimnya PAD Aceh Tenggara ada kesan kemajuan pembangunan Gayo Lues dianaktirikan.  Pada pertengahan tahun 90-an transportasi Gayo Lues agak mendekati titik terang dengan berfungsinya sarana jalan, sehingga menjadikan Kota Blang Kejeren sebagai simpang empat, yaitu : Blang Kejeren Takengon ; Blang Kejeren - Aceh Selatan ; Blang Kejeren Kutacane dan Blang Kejeren  Aceh Timur.  Hal ini memicu percepatan pertumbuhan ekonomi wilayah Gayo Lues yang mendukung PMDN dan PMDA untuk menanam modal.  Faktor intern di atas ditambah lagi dengan faktor ekstern dengan diresmikannya Pembantu Bupati Simeulu menjadi Kabupaten Administratif, menyusul Pembantu Bupati Bireuen dan Pembantu Bupati Singkil menjadi Kabupaten.  Hal inilah yang merangsang masyarakat gayo Lues untuk mengikuti jejak daerah tersebut di atas.
Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, maka pada akhir tahun 1997 beberapa orang tua bermusyawarah di Blang Kejeren untuk memperjuangkan Gayo Lues menjadi Kabupaten Administratif.