Sekilas Tentang Pernikahan Adat Di Gayo Lues
Unknown
November 27, 2017
0 Comments
Tulisan ini merupakan refleksi
penulis dari pernyataan seorang ilmuan asal Belanda bernama Cristian Snouck
Hurgronje (1857-1936) dalam bukunya Het Gajo Land en Zijne Bewoners yang
terjemahkan oleh Hatta Aman Asnah dengan judul GAYO; Masyarakat dan
Kebudayaanya Awal Abad ke-20 terbitan Balai Pustaka tahun 1996.
Berdasarkan
hasil penelitiannya di tanah Gayo Dr. Snouck berkesimpulan bahwa meski
mayoritas masyarakat Gayo menganut agama Islam, namun dalam praktek ajarannya
Islam akan diterapkan jika telah diterima oleh hukum adat, atau lebih dikenal
dengan sebutan teori resepsi.Selanjutnya tulisan ini di buat
dengan asumsi bahwa masyarakat Gayo Lues zaman dahulu sangat berbeda dengan
masyarakat Gayo Lues pada zaman sekarang, baik dalam pemahaman ajaran Islamnya
maupun dalam perubahan-perubahan sosio-budayanya serta pergeseran-pergeseran
nilai yang akan berpengaruh terhadap praktek ajaran keislaman serta
pengamalannya di masyarakat saat ini.
Dalam tulisan yang sangat sederhana
ini, penulis mencoba memaparkan a). Jenis pernikahan adat Gayo Lues; dan b).
Tinjauan hukum Islam terhadap pernikahan adat Gayo Lues.
Agar pembahasan dalam tulisan ini
tidak meluas, maka hukum Islam yang dimaksud hanya dibatasi pada pernikahan adat
masyarakat Gayo Lues. Selanjutnya pengumpulan data akan dilakukan dengan
mengumpulkan sumber bacaan yang relevan dengan pembahasan serta wawancara
dengan tokoh masyarakat.
Bagi masyarakat Gayo, agama Islam dengan segala akidah dan kaidahnya merupakan acuan utama perilaku mereka yang bergandeng dengan norma adat . Hal ini terlihat dari pepatah Gayo “murip i kanung edet, Edet i kanung agama” yang berarti hidup di kandung adat, adat di kandung agama. Kendati demikian, adat yang notabene sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang suku Gayo harus terlebih dahulu harus di tinjau dalam hukum Islam, karena adat tersebut bukan produk hukum dari Islam itu sendiri melainkan hasil dari cipta rasa yang berlaku dalam kebiasaan suatu masyarakat tertentu dan dalam lingkup tertentu serta masa tertentu.
Bagi masyarakat Gayo, agama Islam dengan segala akidah dan kaidahnya merupakan acuan utama perilaku mereka yang bergandeng dengan norma adat . Hal ini terlihat dari pepatah Gayo “murip i kanung edet, Edet i kanung agama” yang berarti hidup di kandung adat, adat di kandung agama. Kendati demikian, adat yang notabene sebagai warisan turun-temurun dari nenek moyang suku Gayo harus terlebih dahulu harus di tinjau dalam hukum Islam, karena adat tersebut bukan produk hukum dari Islam itu sendiri melainkan hasil dari cipta rasa yang berlaku dalam kebiasaan suatu masyarakat tertentu dan dalam lingkup tertentu serta masa tertentu.
Islam sebagai agama yang
komprehensif dan kompromistis tidak melarang adanya peran adat dalam praktek
kehidupan sehari-hari di masyarakat selama adat atau kebiasaan tersebut tidak
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Hal ini didasarkan pada qawa-id
al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fikih) yang berbunyi العادة” “محكمه yang berarti
adat atau kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat dapat dijadikan hukum.
Oleh sebab itu, dalam tulisan ini penulis mencoba melihat kesesuaian adat
pernikahan masyarakat Gayo Lues dalam tinjauan hukum Islam.
Dalam pernikahan adat masyarakat Gayo Lues, dikenal beberapa jenis pernikahan, yaitu:
1. Juelèn, sesuai dengan arti kata juelen yang berarti "dijualkan", maka pengantin perempuan itu seakan sudah “dijual” kepada kerabat suaminya. Isteri tersebut seakan bukan lagi milik orang tuanya. Seorang gadis yang di jual ini tidak lagi bergaul dengan keluarga orang tuanya, melainkan tinggal di belah/klan suami (patrilokal), hal demikan jika mahar sudah lunas baru istri dapat menetap tinggal di kampung/rumah suaminya.
Dalam pernikahan adat masyarakat Gayo Lues, dikenal beberapa jenis pernikahan, yaitu:
1. Juelèn, sesuai dengan arti kata juelen yang berarti "dijualkan", maka pengantin perempuan itu seakan sudah “dijual” kepada kerabat suaminya. Isteri tersebut seakan bukan lagi milik orang tuanya. Seorang gadis yang di jual ini tidak lagi bergaul dengan keluarga orang tuanya, melainkan tinggal di belah/klan suami (patrilokal), hal demikan jika mahar sudah lunas baru istri dapat menetap tinggal di kampung/rumah suaminya.
2. Angkap, yaitu
suami tinggal di belah/klan istri, (matrilokal) hal ini terjadi karena
suami tidak bisa melunasi maharnya. Suami yang berstatus angkap ini
sangat rendah derajatnya di masyarakat Gayo, karena suami tidak mampu membawa
istri ke lingkungan kampungnya. Walau penyebab lainnya bukan karena ketidak
mampuan suami melunasi permintaan adat, namun gadis ini merupakan anak tunggal
mertuanya yang tidak ingin berjauhan dengan orang tuanya. Kemungkinan lain
disebabkan karena orang tua gadis ini sangat menyukai anak laki-laki yang
kemudian menikahkannya secara angkap. Namun dalam prakteknya
kebanyakan pernikahan secara angkap ini terjadi karena ketidak mampuan suami
memenuhi untuk permintaan (teniron) orang tua calon isteri secara adat,
melainkan suami hanya membayar kewajiban saja menurut ketentuan agama
Islam.
Nikah angkap ini terbagi pada empat, yaitu:
a. Angkap Duduk Edet, suami diwajibkan tinggal/mengikuti istri, selama mahar istri belum dilunasi. Bila mahar sudah dilunasi, maka suami berhak membawa istri dan anaknya ke kampungnya. Namun angkap ini memakan waktu yang cukup lama, sehingga pada prakteknya angkap ini sama saja dengan angkap empat mas (angkap nasab)
Nikah angkap ini terbagi pada empat, yaitu:
a. Angkap Duduk Edet, suami diwajibkan tinggal/mengikuti istri, selama mahar istri belum dilunasi. Bila mahar sudah dilunasi, maka suami berhak membawa istri dan anaknya ke kampungnya. Namun angkap ini memakan waktu yang cukup lama, sehingga pada prakteknya angkap ini sama saja dengan angkap empat mas (angkap nasab)
b. Angkap
Sentaran, perkawinan dengan perjanjian pemenuhan batas waktu yang telah
disepakati. Misalnya karena orang tua istri sudah sangat ozor/tua, sehingga
masih memerlukan perawatan. Setelah orang tuanya meninggal maka mereka boleh
pindah ke kampung suaminya. Ada pula perjanjian sampai sepuluh tahun, bila
misalnya dalam satu tahun suami bisa melunasi mahar istri dia terpaksa menunggu
sembilan tahun lagi baru pindah ke kampung suaminya. Materi perjanjian ini
beraneka ragam, sesuai dengan kepentingan dan kesepakatan bersama.
c. Angkap Empat
Mas, suami tidak berhak untuk membawa istrinya untuk selama-lamanya. Suami
telah dianggap menjadi anggota kampung istrinya. Status suami tidak dianggap
apa-apa. Segala harta yang diperoleh suami dianggap harta istri. Misalnya
rumah yang dibangun suami dari gajinya, maka surat rumah harus atas nama istri
demikian yang lain-lain, seperti mobil, sawah, kebun, dan
lain-lain.
3. Naik (kawin lari), perkawinan yang terjadi karena seorang pemuda melarikan seorang gadis untuk di jadikan istrinya, atau seorang gadis yang menyerahkan dirinya pada seorang pemuda untuk dijadikan teman hidupnya. Mereka biasanya pergi tengah malam untuk pergi kerumah qadhi, atau imem atau KUA kecamatan kampung laki-laki untuk dinikahkan. Oleh qadhi mereka diselidiki apakah mereka sadar, tidak dalam keadaan mabuk dan sebagainya. Bila qadhi sudah yakin maka dia segera memberitahukan kepada pemegang adat kampung perempuan/gadis.
4. Mah Tabak, perkawinan seorang pemuda yang langsung menghadap orang tua gadis dengan permintaan untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Menurut pertimbangan laki-laki tersebut bila melalui prosedur biasa dia tidak akan mendapat perempuan yang diinginkannya itu. Oleh karenanya dia pergi menyerahkan diri kepada orang tua perempuan, dan menyatakan maksudnya untuk menikahi anaknya. Pertama kali tentu akan mempertimbangkan permintaan itu dan kemudian biasanya melaporkan kepada kepala desa atau orang tua pemuda. Sesuai dengan nama proses perkawinan itu, yang datang ini biasanya membawa tabak ditambah pedang atau senjata tajam lainnya, tali atau alat pengikat lainnya, cangkul atau alat pembogkar tanah lainnya.
3. Naik (kawin lari), perkawinan yang terjadi karena seorang pemuda melarikan seorang gadis untuk di jadikan istrinya, atau seorang gadis yang menyerahkan dirinya pada seorang pemuda untuk dijadikan teman hidupnya. Mereka biasanya pergi tengah malam untuk pergi kerumah qadhi, atau imem atau KUA kecamatan kampung laki-laki untuk dinikahkan. Oleh qadhi mereka diselidiki apakah mereka sadar, tidak dalam keadaan mabuk dan sebagainya. Bila qadhi sudah yakin maka dia segera memberitahukan kepada pemegang adat kampung perempuan/gadis.
4. Mah Tabak, perkawinan seorang pemuda yang langsung menghadap orang tua gadis dengan permintaan untuk dikawinkan dengan anak gadisnya. Menurut pertimbangan laki-laki tersebut bila melalui prosedur biasa dia tidak akan mendapat perempuan yang diinginkannya itu. Oleh karenanya dia pergi menyerahkan diri kepada orang tua perempuan, dan menyatakan maksudnya untuk menikahi anaknya. Pertama kali tentu akan mempertimbangkan permintaan itu dan kemudian biasanya melaporkan kepada kepala desa atau orang tua pemuda. Sesuai dengan nama proses perkawinan itu, yang datang ini biasanya membawa tabak ditambah pedang atau senjata tajam lainnya, tali atau alat pengikat lainnya, cangkul atau alat pembogkar tanah lainnya.
Alat ini diserahkan kepada orang
tua gadis dengan pengantar kata: maksud dari membawa alat tersebut yang diserahkan
pada orang tua calon isteri adalah bila tidak memungkinkan untuk dinikahkan
maka bunuh dengan pedang yang dibawa, seret mayatnya ke kubur dengan tali yang
dibawa, dan gali kuburnya dengan cangkul yang dibawa serta timbun mayatnya
dengan pangki yang dibawa.
Dalam keadaan demikian, hanya ada
dua pilihan bagi orang tua gadis, mengawinkan anaknya, atau bila tidak
disetujui, maka terpaksa di bunuh. Namun pada umumnya, perkawinan yang menjadi
pilihan.
5. Ngalih, perkawinan
yang terjadi kerena meninggalnya salah satu pihak suami atau isteri. Apabila
suami meninggal, maka istri atau janda tersebut "diambil alih"
oleh saudara suami yang meninggal, atau sebaliknya bila istri yang
meninggal, maka suami mengambil saudara istri sebagai ganti istrinya yang telah
meninggal tersebut.
Pernikahan seperti ini dibolehkan
dalam hukum pernikahan Islam, karena memiliki landasan yang kuat dalam
Al-Qur-an, seperti surat an-Nisa’ ayat 23 yang berbunyi:
Artinya:
Artinya:
"Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Ulama fikih (fuqahā) membagi
keharaman tersebut menjadi dua kelompok, yaitu haram nikah untuk selama-lamanya
(mahrām muabbād), dan haram nikah dalam kondisi tertentu (mahrām muaqqāt).
Ayat di atas merupakan dalil dari larangan pernikahan untuk selama-lamanya yang di bagi menjadi tiga kelompok, yaitu larangan karena nasab (keturunan), mushaharah (perkawinan), dan radha’ah (sesusuan).
1. Larangan
kerena nasab (keturunan) seperti: ibu kandung dan seterusnya ke atas, anak
permpuan dan seterusnya kebawah; saudara perempuan kandung, seayah dan seibu;
Bibi yaitu saudara perempuan bapak atau ibu;
anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan (kemanakan).
2. Larangan karena mushaharah (pernikahan) yaitu: perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah atau ibu tiri; perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu; ibu isteri (mertua); anak dari isteri.
3. Larangan karena radha’ah (susuan), yaitu ibu dari ayah yang menyusuinya, kerena ia merupakan neneknya juga; Ibu dari bapak susunya, karena ia merupakan neneknya juga; saudara perempuan dari ibu susunya, kerena ia menjdi ibu susunya; saudara perempuan bapak susunya, karena ia menjadi bibi susunya; cucu perempuan bibi susunya, karena mereka menjadi anak perempuan saudara laki-laki dan perempuan dengannya; saudara perempuan sesusuan, baik yang sebapak atau seibu ataupun kandung. Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan nabi saw:
انّ الله حرم من الرضاع ما حرم من النسب
Artinya:
Sesunggunya Allah mengharamkan dari susuan apa yang telah Allah haramkan dari nasab.
Pemaparan di atas adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selamanya, namun ada juga keharaman pernikahan yang tidak berlaku selamanya, artinya bila halangan yang menyebabkan mereka untuk menikah telah hilang, mereka boleh melakukan pernikahan, inilah yang disebut dengan larangan pernikahan sementara (mahram muaqqad).
Adapun orang-orang mahram muaqqad adalah sebagai berikut:
1. Halangan bilangan mahram, yaitu perempuan yang baru dicerai oleh suaminya yang masih dalam masa iddah tidak boleh dinikahi.
2. Halangan karena non-muslim atau kafir.
3. Halangan karena ihrām, yaitu bagi seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah.
4. Halangan kerena peristerian, yaitu batas maksimal boleh beristeri adalah empat orang.
5. Berkeroa, yaitu model pernikahan yang lebih dari satu orang isteri dalam satu waktu (poligami). Pernikahan seperti ini dibolehkan dalam pernikahan
anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan dari saudara perempuan (kemanakan).
2. Larangan karena mushaharah (pernikahan) yaitu: perempuan yang pernah dinikahi oleh ayah atau ibu tiri; perempuan yang telah dinikahi oleh anak laki-laki atau menantu; ibu isteri (mertua); anak dari isteri.
3. Larangan karena radha’ah (susuan), yaitu ibu dari ayah yang menyusuinya, kerena ia merupakan neneknya juga; Ibu dari bapak susunya, karena ia merupakan neneknya juga; saudara perempuan dari ibu susunya, kerena ia menjdi ibu susunya; saudara perempuan bapak susunya, karena ia menjadi bibi susunya; cucu perempuan bibi susunya, karena mereka menjadi anak perempuan saudara laki-laki dan perempuan dengannya; saudara perempuan sesusuan, baik yang sebapak atau seibu ataupun kandung. Hal ini sebagaimana yang pernah disabdakan nabi saw:
انّ الله حرم من الرضاع ما حرم من النسب
Artinya:
Sesunggunya Allah mengharamkan dari susuan apa yang telah Allah haramkan dari nasab.
Pemaparan di atas adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selamanya, namun ada juga keharaman pernikahan yang tidak berlaku selamanya, artinya bila halangan yang menyebabkan mereka untuk menikah telah hilang, mereka boleh melakukan pernikahan, inilah yang disebut dengan larangan pernikahan sementara (mahram muaqqad).
Adapun orang-orang mahram muaqqad adalah sebagai berikut:
1. Halangan bilangan mahram, yaitu perempuan yang baru dicerai oleh suaminya yang masih dalam masa iddah tidak boleh dinikahi.
2. Halangan karena non-muslim atau kafir.
3. Halangan karena ihrām, yaitu bagi seorang yang sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah.
4. Halangan kerena peristerian, yaitu batas maksimal boleh beristeri adalah empat orang.
5. Berkeroa, yaitu model pernikahan yang lebih dari satu orang isteri dalam satu waktu (poligami). Pernikahan seperti ini dibolehkan dalam pernikahan
Islam dengan ketentuan dapat
berlaku adil. Seperti dalam firman Allah swt yang artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu
mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian
itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.
Dari beberapa jenis pernikahan yang
berlaku di tanah Gayo seperti yang disebutkan di atas, hanya perkawinan mah tabak
yang sangat jarang sekali dilakukan, terlebih lagi di zaman belakangan ini
belum pernah dilakukan. Namun praktek perkawinan juelèn, angkap, naik, ngalih,
dan berkeroa hingga saat ini tetap membudaya di masyarakat Gayo Lues.
Khusus untuk tradisi pernikahan
juelen dan angkap, untuk zaman sekarang telah banyak terjadi perubahan, baik
akibat hukumnya maupun adat yang telah banyak keringanan. Dalam pernikahan jue
misalnya, pengantin perempuan tidak lagi mengharuskan tinggal di belah/klan
suami, melainkan sewaktu-waktu dapat ketempat keluarga isteri. Demikian
sebaliknya dengan pernikahan angkap, suami tidak diharuskan tinggal di
belah/klan isteri, melainkan sesekali dapat ketempat keluarga suami.
Perubahan-perubahan di masyarakat
tersebut dalam pandangan Sidi Gazalba pada asasnya berpangkal dari sesuatu yang
baru. Suatu yang baru itu mungkin berbentuk konsepsi, ide, benda, yang
menimbulkan laku perbuatan baru. Selanjutnya norma baru itu mengubah lembaga
sosial yang sudah ada atau membentuk lembaga sosial yang baru. Kemudian suatu
yang baru itu akan mengalami tiga tahap dalam kebudayaan, yaitu:
a. Penemuan usur
baru, baik berupa konsepsi, ide, teori, barang dan peralatan.
b. Invensyen (invention) pengakuan, penerimaan, atau penerapan penemuan itu oleh masyarakat yang bermakna sebagai unsur kebudayaan yang membawa pada norma atau penumbuhan norma baru.
c. Inovasi (innovation), proses perubahan kebudayaan yang besar, terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
b. Invensyen (invention) pengakuan, penerimaan, atau penerapan penemuan itu oleh masyarakat yang bermakna sebagai unsur kebudayaan yang membawa pada norma atau penumbuhan norma baru.
c. Inovasi (innovation), proses perubahan kebudayaan yang besar, terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama.
Akibat perubahan dan pergeseran
nilai tersebut, untuk pernikahan adat sekarang di Gayo Lues telah dikenal satu
akibat hukum baru dari pernikahan juelen mapun angkap, yaitu pernikahan
kuso-kini (kesana-kemari) atau dengan sebutan lain murip i he senang (hidup di
mana suka), yang bermakna bahwa suami maupun isteri telah mendapat keringanan
adat untuk menentukan tempat kediaman mereka.
Perubahan-perubahan terhadap norma
adat tersebut menandakan bahwa, masyarakat Gayo Lues zaman sekarang telah lebih
sadar dan lebih membaik tentang Islam, baik pengetahuan tentang keislaman
maupun penerapan Islam tersebut di masyarakat, khususnya dalam bidang
hukum keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyah). Selain itu, norma adat yang secara
sunnatullah memang tidak bersifat statis, melainkan dengan sifat dinamisnya
yang rentan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dengan sendirinya akan
berubah sesuai dengan perkembangan zaman dalam suatu masyarakat tertentu dan
dalam masa tertentu. Selain itu dalam pandangan penulis, perubahan-perubahan
tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat, asimilasi,
akulturasi kebudayaan, difusi serta kemudahan mengakses informasi.
A. Kesimpulan
Pernikahan adat masyarakat Gayo Lues memiliki kesesuaian dengan pernikahan dalam Islam, karena dalam pernikahan adat Gayo Lues tersebut banyak terdapat konsep tolong menolong (ta-awun), musyawarah (al-musyawwah) dan prinsip gotong royong. Kendati masih ada ketidak sesuaian dengan pernikahan dalam Islam, bukan terletak dalam syarat maupun rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan tersebut, melainkan hanya mekanisme pernikahan itu sendiri yang terkadang sedikit memberi kesukaran pada kedua calon pengantin, misalnya dengan tingginya unyuk (uang adat) yang diminta oleh keluarga calon mempelai perempuan. Dengan timbulnya kesadaran masayarakat Gayo Lues tentang pengetahuan dan penerapan Islam, maka adat tersebut telah banyak keringanan.
B. Saran
Kepada instansi terkait, hendakanya memaksimalkan penelitian, pengawasan dan pembinaan adat Gayo Lues, serta lebih selektif dalam menerapakan adat yang belum sesuai dengan ajaran Islam, karena banyak dari adat tersbut yang harus tetap dipertahankan mengingat manfa’atnya yang besar. Wallahu a’lam
A. Kesimpulan
Pernikahan adat masyarakat Gayo Lues memiliki kesesuaian dengan pernikahan dalam Islam, karena dalam pernikahan adat Gayo Lues tersebut banyak terdapat konsep tolong menolong (ta-awun), musyawarah (al-musyawwah) dan prinsip gotong royong. Kendati masih ada ketidak sesuaian dengan pernikahan dalam Islam, bukan terletak dalam syarat maupun rukun yang harus dipenuhi dalam pernikahan tersebut, melainkan hanya mekanisme pernikahan itu sendiri yang terkadang sedikit memberi kesukaran pada kedua calon pengantin, misalnya dengan tingginya unyuk (uang adat) yang diminta oleh keluarga calon mempelai perempuan. Dengan timbulnya kesadaran masayarakat Gayo Lues tentang pengetahuan dan penerapan Islam, maka adat tersebut telah banyak keringanan.
B. Saran
Kepada instansi terkait, hendakanya memaksimalkan penelitian, pengawasan dan pembinaan adat Gayo Lues, serta lebih selektif dalam menerapakan adat yang belum sesuai dengan ajaran Islam, karena banyak dari adat tersbut yang harus tetap dipertahankan mengingat manfa’atnya yang besar. Wallahu a’lam
suami maupun isteri telah mendapat
keringanan adat untuk menentukan tempat kediaman mereka.
Perubahan-perubahan terhadap norma adat tersebut menandakan bahwa, masyarakat Gayo Lues zaman sekarang telah lebih sadar dan lebih membaik tentang Islam, baik pengetahuan tentang keislaman maupun penerapan Islam tersebut di masyarakat, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyah). Selain itu, norma adat yang secara sunnatullah memang tidak bersifat statis, melainkan dengan sifat dinamisnya yang rentan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dengan sendirinya akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu. Selain itu dalam pandangan penulis, perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat, asimilasi, akulturasi kebudayaan, difusi serta kemudahan mengakses informasi.
Perubahan-perubahan terhadap norma adat tersebut menandakan bahwa, masyarakat Gayo Lues zaman sekarang telah lebih sadar dan lebih membaik tentang Islam, baik pengetahuan tentang keislaman maupun penerapan Islam tersebut di masyarakat, khususnya dalam bidang hukum keluarga Islam (Ahwal Al-Syakhsiyah). Selain itu, norma adat yang secara sunnatullah memang tidak bersifat statis, melainkan dengan sifat dinamisnya yang rentan terhadap perubahan dan perkembangan zaman dengan sendirinya akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dalam suatu masyarakat tertentu dan dalam masa tertentu. Selain itu dalam pandangan penulis, perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari tingkat pendidikan masyarakat, asimilasi, akulturasi kebudayaan, difusi serta kemudahan mengakses informasi.
Sumber di ambil dari:
Nama : Robi Efendi, M.H.I
Tempat. Tgl.Lahir : Blangkejeren, 11 Oktober 1989
Perguruan Tinggi :
: S1 Hukum Islam (S.H.I) UIN-SU Medan, 2012
: S2 Hukum Islam (M.H.I) UIN-SU Medan 2014
Alamat : Desa Penampaan Uken, Kecamatan Blangkejeren,
Kabupaten Gayo Lues
Facebook : Roby Al-Faruq
Nama : Robi Efendi, M.H.I
Tempat. Tgl.Lahir : Blangkejeren, 11 Oktober 1989
Perguruan Tinggi :
: S1 Hukum Islam (S.H.I) UIN-SU Medan, 2012
: S2 Hukum Islam (M.H.I) UIN-SU Medan 2014
Alamat : Desa Penampaan Uken, Kecamatan Blangkejeren,
Kabupaten Gayo Lues
Facebook : Roby Al-Faruq